Sejarah Organisasi Muhammadiyah: Pilar Pembaharuan dan Kontribusi Bangsa

Table of Contents

 



Sejarah Organisasi Muhammadiyah: Pilar Pembaharuan dan Kontribusi Bangsa

I. Pendahuluan

Organisasi Muhammadiyah merupakan salah satu gerakan Islam terbesar dan paling berpengaruh di Indonesia. Didirikan di Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912 Masehi, bertepatan dengan 8 Dzulhijjah 1330 Hijriah, oleh Muhammad Darwis yang kemudian dikenal sebagai K.H. Ahmad Dahlan. K.H. Ahmad Dahlan adalah seorang ulama yang juga menjabat sebagai khatib Masjid Gede Kauman, abdi dalem Kesultanan Kraton Yogyakarta, dan seorang pedagang. Visi beliau dalam mendirikan Muhammadiyah adalah untuk menghidupkan kembali ajaran Islam yang murni serta membersihkannya dari praktik-praktik yang dianggap bid'ah atau sesat, sebuah gagasan yang terinspirasi oleh gerakan reformis seperti Muhammad Abduh.  

Motivasi utama di balik pendirian Muhammadiyah berakar pada keprihatinan mendalam terhadap kondisi umat Islam di Indonesia pada awal abad ke-20. Pada masa itu, banyak Muslim yang masih terbelenggu oleh hal-hal mistik, bid'ah, dan takhayul, sehingga ajaran Islam yang sebenar-benarnya sulit ditegakkan. Selain itu, masyarakat juga menghadapi tantangan sosial, politik, dan ekonomi yang berat akibat penjajahan kolonial dan upaya Kristenisasi di kalangan penduduk miskin. Nama "Muhammadiyah" sendiri diusulkan oleh kerabat dan sahabat K.H. Ahmad Dahlan, Muhammad Sangidu, sebagai bentuk penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW, dengan harapan organisasi ini dapat menjadi pengikut setia ajaran beliau.  

A. Visi dan Misi Awal: Gerakan Tajdid dan Amar Ma'ruf Nahi Munkar

Muhammadiyah didirikan dengan tujuan utama yang jelas: "menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya". Konsep "masyarakat Islam yang sebenar-benarnya" dalam pandangan Muhammadiyah tidak hanya terbatas pada aspek spiritual atau ritual keagamaan. Ia mencakup pembentukan masyarakat yang berpegang teguh pada tauhid, maju dalam berbagai bidang kehidupan seperti pendidikan, ekonomi, sosial, dan budaya, serta berakhlak mulia, toleran, inklusif, dan berperan aktif dalam pembangunan bangsa.  

Misi ini diwujudkan melalui gerakan tajdid (pembaruan) dan amar ma'ruf nahi munkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran). Gerakan tajdid berupaya menafsirkan ajaran Islam sesuai dengan perkembangan zaman tanpa meninggalkan prinsip-prinsip dasar Al-Qur'an dan As-Sunnah. Pendekatan dakwah Muhammadiyah sangat berorientasi pada aksi nyata (bil hal) daripada hanya ceramah (bil lisan), yang secara konkret tercermin dalam pendirian berbagai amal usaha di bidang pendidikan, kesehatan, dan sosial. Pemahaman holistik K.H. Ahmad Dahlan bahwa Islam harus relevan dan berkontribusi pada kemajuan peradaban mendorong pendirian sekolah-sekolah modern yang mengintegrasikan ilmu agama dan umum serta layanan kesehatan. Pendekatan ini memungkinkan Muhammadiyah untuk menjadi agen perubahan sosial yang efektif, membangun infrastruktur masyarakat yang kuat, dan memberikan dampak signifikan pada kualitas hidup umat Muslim dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Ini juga menjelaskan mengapa Muhammadiyah memiliki aset yang sangat besar di bidang pendidikan dan kesehatan hingga saat ini.  

II. Muhammadiyah dalam Lintasan Sejarah Bangsa

A. Peran di Era Kolonial dan Kontribusi pada Kebangkitan Nasional

Pada masa kepemimpinan awal K.H. Ahmad Dahlan (1912-1923), pengaruh Muhammadiyah awalnya terbatas di karesidenan seperti Yogyakarta, Surakarta, Pekalongan, dan Pekajangan. Organisasi ini menghadapi pembatasan dari pemerintah Hindia Belanda untuk membuka cabang di luar Yogyakarta. Namun, pada tanggal 2 September 1921, pemerintah kolonial akhirnya memberikan izin kepada Muhammadiyah untuk memperluas jangkauannya ke daerah-daerah lain, dengan syarat terdapat lebih dari 10 anggota di lokasi tersebut. K.H. Ahmad Dahlan bahkan menganjurkan agar cabang-cabang di luar Yogyakarta menggunakan nama lain untuk mengatasi pembatasan ini.  

Kemampuan adaptasi strategis ini menjadi fondasi bagi ekspansi Muhammadiyah yang pesat di seluruh Nusantara. Setelah tahun 1925, Muhammadiyah berkembang pesat ke seluruh Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan, terutama setelah Abdul Karim Amrullah membawanya ke Sumatera Barat. Pertumbuhan ini juga didukung oleh pedagang Minangkabau yang menyebarkan organisasi. Dari hanya 4.000 anggota pada tahun 1925, jumlahnya melonjak menjadi 250.000 anggota pada tahun 1938, dengan ratusan sekolah, masjid, dan klinik yang dikelola. Perkembangan pesat ini bukan hanya indikator kuantitas, tetapi juga kualitas dakwah Muhammadiyah yang relevan dengan kebutuhan masyarakat saat itu, terutama dalam bidang pendidikan dan kesehatan. Ini meletakkan dasar bagi peran Muhammadiyah yang signifikan dalam pembangunan bangsa pasca-kemerdekaan, menunjukkan bahwa fondasi yang kuat dibangun jauh sebelum Indonesia meraih kemerdekaan. Muhammadiyah turut berperan aktif dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia dengan menggalang persatuan umat Islam dan mendorong partisipasi dalam gerakan Kebangkitan Nasional. Para anggotanya berkontribusi dalam melawan kolonialisme, baik dalam bidang politik maupun sosial.  

B. Perkembangan Pasca-Kemerdekaan: Pendidikan, Kesehatan, dan Sosial

Setelah Indonesia merdeka, Muhammadiyah terus memainkan peran penting dalam pembangunan bangsa, khususnya dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan masyarakat. Institusionalisasi dakwah sebagai gerakan sosial-keagamaan menjadi semakin masif.  

Dalam bidang pendidikan, Muhammadiyah dikenal sebagai pelopor pendidikan Islam modern di Indonesia. Organisasi ini telah mendirikan ribuan lembaga pendidikan mulai dari tingkat PAUD hingga perguruan tinggi, mengintegrasikan ilmu agama dan umum, serta menekankan pembentukan karakter. Saat ini, Muhammadiyah memiliki 172 perguruan tinggi dan 28 ribu lembaga pendidikan dengan jutaan siswa. Jumlah aset dan lembaga yang didirikan ini merupakan representasi dari strategi dakwah bil hal yang terinstitusionalisasi, di mana setiap sekolah adalah wujud konkret dari ajaran Islam yang berorientasi pada kemaslahatan umat.  

Di bidang kesehatan, Muhammadiyah memiliki jaringan rumah sakit, klinik, dan layanan kesehatan yang tersebar luas di seluruh Indonesia, melayani masyarakat tanpa membedakan latar belakang agama dan suku. Organisasi ini juga aktif dalam program pengurangan risiko bencana di bidang kesehatan, seperti Hospital Preparedness and Community Readiness for Emergency and Disaster (HPCRED), yang memastikan rumah sakit dan kliniknya siap menghadapi situasi darurat.  

Dalam bidang sosial dan kemanusiaan, Muhammadiyah aktif dalam penyantunan anak yatim, pemberdayaan masyarakat miskin, penanggulangan bencana, dan pengelolaan zakat, infaq, shadaqah. Muhammadiyah juga terlibat dalam dialog antaragama untuk memperkuat harmoni sosial. Institusionalisasi ini memungkinkan Muhammadiyah untuk memberikan kontribusi yang berkelanjutan dan terstruktur dalam pembangunan nasional, melampaui peran politik praktis. Hal ini menunjukkan bahwa kekuatan organisasi keagamaan dapat diukur dari dampak nyatanya di masyarakat, bukan hanya dari jumlah pengikut atau pengaruh politik langsung.  

C. Dinamika Hubungan dengan Kekuasaan (Orde Lama, Orde Baru, Reformasi)

Hubungan Muhammadiyah dengan kekuasaan negara telah mengalami dinamika yang beragam sepanjang sejarah Indonesia. Pada era Orde Lama (pra-1965), Pemuda Muhammadiyah tidak mendapat tempat di Front Nasional karena ditolak menjadi anggota Front Pemuda, yang hanya menerima organisasi yang berafiliasi dengan partai politik. Kondisi ini menunjukkan adanya tekanan politik terhadap Muhammadiyah yang memilih jalur non-partisan.  

Memasuki masa Orde Baru (1968-1998), Muhammadiyah memiliki andil dalam pembentukan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) pada tahun 1967 setelah upaya rehabilitasi Masyumi tidak disetujui oleh Soeharto. Namun, pada Muktamar 1971 di Ujung Pandang, Muhammadiyah mengambil keputusan penting untuk melepaskan diri dari politik praktis (termasuk Parmusi) dan bersikap netral. Meskipun demikian, Muhammadiyah tetap konsisten bersikap kritis terhadap kebijakan pemerintah Orde Baru yang tidak sesuai dengan aspirasi umat Islam, seringkali melalui lobi, silaturahmi, dan surat resmi. Hubungan ini berkembang dari akomodatif-kritis (1968-1982) menjadi resiprokal kritis (1982-1985), dan kemudian akomodatif (pasca 1985). Keputusan untuk menjauh dari politik praktis dan konsistensinya di era Reformasi menunjukkan sebuah strategi "jarak kritis." Ini adalah pilihan sadar untuk tidak menjadi partai politik atau berafiliasi secara langsung, namun tetap mempengaruhi kebijakan publik dan dinamika kebangsaan melalui jalur dakwah, pendidikan, dan sosial.  

Pada Era Reformasi (1998-sekarang), Muhammadiyah turut memainkan peran penting dalam proses transisi menuju era reformasi, termasuk dalam mengawal reformasi dan suksesi kepemimpinan nasional pada tahun 1998. Meskipun banyak kader Muhammadiyah yang memasuki dunia politik melalui berbagai partai, terutama Partai Amanat Nasional (PAN) yang didirikan oleh Amien Rais, organisasi secara institusional memilih tetap di jalur dakwah dan sosial, menjaga netralitas dan jarak dari politik praktis. Strategi ini memungkinkan Muhammadiyah untuk mempertahankan integritas dan kepercayaan masyarakat lintas latar belakang, menghindari polarisasi politik identitas, dan tetap fokus pada tujuan utamanya sebagai gerakan pembaharuan Islam. Ini juga menjelaskan mengapa Muhammadiyah dapat menjadi kekuatan penyeimbang dalam dinamika politik nasional tanpa harus terlibat langsung dalam perebutan kekuasaan.  

III. Organisasi Otonom Kunci: Tapak Suci Putera Muhammadiyah

A. Sejarah Pendirian dan Perkembangan Awal

Tapak Suci Putera Muhammadiyah, yang disingkat Tapak Suci, adalah organisasi pencak silat otonom Muhammadiyah yang berlandaskan akidah Islam, bersumber pada Al-Qur'an dan As-Sunah, serta menjunjung tinggi jiwa persaudaraan. Sejarahnya berawal dari aliran pencak silat Banjaran yang dikuasai oleh KH. Busyro Syuhada (lahir 1827) di pesantren Binorong, Banjarnegara. Beliau dikenal sebagai ulama patriotik yang menjadi buronan kolonial Belanda.  

Dua murid KH. Busyro Syuhada, A. Dimyati dan M. Wahib, kemudian mendirikan Paguron Kauman (Cikauman) di Yogyakarta pada tahun 1925, yang beraliran Banjaran-Kauman. Perguruan ini secara tegas berlandaskan Al-Islam dan ajaran K.H. Ahmad Dahlan, membina pencak silat yang bersih dari syirik dan sesat. Pada tahun 1957, Pemuda Muhammadiyah di Kauman merasa prihatin melihat perpecahan antar perguruan silat lokal (CIKAUMAN, SERANOMAN, Aliran Hitam). Dalam upaya menciptakan persatuan, pada tahun 1958, mereka mendirikan Perguruan Pencak Silat Kauman Serba Guna (KASEGU) di Kauman Selatan.  

Meskipun KASEGU belum sepenuhnya berhasil menyatukan perguruan yang ada, enam murid KASEGU, termasuk Irfan Hadjam, Djakfal Kusuma, M. Rustam, dan Sobri Achmad, bersama Pendekar M. Barie Irsjad (yang juga murid dari Cikauman dan Siranoman), mengusulkan pendirian perguruan yang lebih terorganisir dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART), materi yang tersusun, dan latihan yang teratur. Perguruan Pencak Silat KASEGU Badai Selatan inilah yang menjadi embrio dan pemrakarsa lahirnya TAPAK SUCI. Transformasi dari aliran pencak silat tradisional lokal menjadi sebuah organisasi modern dengan struktur dan tujuan yang jelas ini mencerminkan semangat tajdid Muhammadiyah dalam mengadaptasi dan memodernisasi tradisi. Akhirnya, PERSATUAN PENCAK SILAT TAPAK SUCI dideklarasikan pada malam Jumat, 10 Rabiul Awwal 1383 H, bertepatan dengan 31 Juli 1963 M, di Pesantren Aisyiah Kauman DIY.  

B. Penetapan sebagai Organisasi Otonom Muhammadiyah dan Tokoh Kunci

Pada tahun 1964, Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang kala itu diketuai oleh K.H. Ahmad Badawi, secara resmi menerima Tapak Suci sebagai organisasi otonom Muhammadiyah, dan namanya kemudian menjadi Tapak Suci Putera Muhammadiyah. Penetapan ini dikukuhkan pada Sidang Tanwir Muhammadiyah tahun 1967, karena Tapak Suci dinilai mampu menjadi wadah pengkaderan anggota Muhammadiyah. Pengakuan ini bukan sekadar formalitas, melainkan pengakuan strategis terhadap potensi Tapak Suci sebagai wadah pembentukan karakter, keimanan, dan kedisiplinan kader Muhammadiyah.  

Tokoh kunci di balik pendirian dan pengembangan Tapak Suci adalah K.H. Djarnawi Hadikusumo, putra Pahlawan Nasional Ki Bagus Hadikusumo. Beliau memberikan dukungan besar dan menjabat sebagai pelindung pada periode awal, kemudian terpilih sebagai ketua umum lembaga perguruan pencak silat milik Muhammadiyah tersebut dari tahun 1966 hingga 1991. Pada peresmian Tapak Suci, M. Barie Irsjad ditetapkan sebagai Pelatih Kepala (Kader Biru 3). Integrasi Tapak Suci ke dalam struktur Muhammadiyah memperkuat ekosistem pengkaderan organisasi, memastikan bahwa nilai-nilai Islam dan Muhammadiyah ditanamkan melalui jalur fisik dan mental, selain jalur pendidikan formal dan dakwah.  

C. Filosofi, Prinsip Dasar, dan Ajaran

Tapak Suci berasas Islam, bersumber pada Al-Qur'an dan As-Sunnah, serta menjunjung tinggi jiwa persaudaraan. Motto yang selalu dipegang teguh oleh Tapak Suci adalah "Dengan Iman dan Akhlak saya menjadi kuat, tanpa Iman dan Akhlak saya menjadi lemah". Semboyan ini senantiasa menjadi bagian tak terpisahkan dalam setiap latihan rutin, ujian kenaikan tingkat, maupun latihan tanding.  

Lambang Tapak Suci sarat dengan makna filosofis yang mendalam. Bentuk bulat melambangkan tekad bulat, warna dasar biru berarti keagungan, dan tepi hitam melambangkan kekal dan abadi, mencerminkan sifat Allah SWT. Gambar bunga mawar menunjukkan keharuman, warna merah melambangkan keberanian, daun kelopak hijau kesempurnaan, dan melati putih melambangkan kesucian. Angka sebelas menyimbolkan rukun Islam dan rukun Iman. Tangan kanan putih yang terbuka dengan jari rapat dan ibu jari tertekuk melambangkan keutamaan, kejujuran, keeratan, dan kerendahan hati. Sinar matahari kuning pada lambang menandakan Putera Muhammadiyah.  

Tapak Suci mengajarkan pencak silat murni tradisional keolahragaan, tanpa "syarat" dan ritual khusus, serta bersih dari syirik dan menyesatkan. Pendekatan ini sejalan dengan semangat pemurnian akidah Muhammadiyah. Tapak Suci berhasil mengintegrasikan seni bela diri tradisional Indonesia yang kaya dengan prinsip-prinsip Islam yang murni. Ini adalah contoh bagaimana elemen budaya lokal diadaptasi dan dipurifikasi agar sesuai dengan ajaran Islam, menghilangkan unsur-unsur syirik atau ritual yang menyimpang. Terdapat delapan jurus khas dalam Tapak Suci, yaitu Jurus Mawar, Katak, Naga, Ikan Terbang, Lembu, Rajawali, Merpati, dan Harimau, yang diaplikasikan untuk permainan tangan kosong maupun bersenjata, baik untuk kegunaan olahraga, seni, maupun beladiri.  

D. Peran dalam Pengembangan Pencak Silat Nasional dan Pengkaderan Muhammadiyah

Tapak Suci memiliki peran ganda yang signifikan, baik dalam pengembangan pencak silat nasional maupun dalam pengkaderan Muhammadiyah. Organisasi ini berperan dalam melestarikan dan mengembangkan pencak silat murni tradisional, membentuk identitas pencak silat Indonesia, dan menjadi wahana pendidikan karakter. Melalui latihan sikap mental dan kedisiplinan, Tapak Suci membantu meningkatkan kualitas peserta didik, menumbuhkan rasa percaya diri, ketahanan mental, serta kesehatan dan kebugaran generasi muda.  

Dalam konteks Muhammadiyah, Tapak Suci secara khusus mendidik dan membina anggota untuk menjadi kader Muhammadiyah, dengan memperteguh iman, memperkuat ibadah, dan mempertinggi akhlak mulia sesuai ajaran Islam. Para pendekar Tapak Suci diharapkan tidak hanya mengajarkan di area latihan, tetapi juga menjadi uswah hasanah (teladan baik) di lingkungan masyarakat, tempat kerja, dan keluarga. Tapak Suci juga aktif dalam lembaga olahraga dan seni, menyelenggarakan pertandingan, lomba, serta pertemuan untuk memperluas pengalaman dan persaudaraan.  

Kontribusi Tapak Suci meluas hingga ke kancah internasional, terbukti dengan peran besarnya dalam penetapan Pencak Silat sebagai Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO. Atlet Tapak Suci turut menjadi demonstran untuk penilaian UNESCO, menunjukkan kualitas dan representasi mereka dalam seni bela diri ini. Peran ganda ini menegaskan bahwa organisasi otonom Muhammadiyah secara efektif mewujudkan misi Muhammadiyah untuk menjadi "rahmat bagi seluruh alam" dengan memberikan manfaat yang melampaui batas keanggotaan organisasi, sekaligus memperkuat citra Muhammadiyah sebagai gerakan Islam modern yang terbuka dan inklusif.  

E. Jangkauan Nasional dan Internasional

Jangkauan Tapak Suci telah meluas secara signifikan. Organisasi ini telah menyebar di 34 provinsi di Indonesia dan memiliki 18 perwakilan di luar negeri, termasuk di Singapura, Belanda, Jerman, Austria, dan Mesir. Pada tahun 2023, jumlah anggotanya mencapai 3 juta orang. Jangkauan Tapak Suci yang mendunia menunjukkan bahwa seni bela diri dapat menjadi medium efektif untuk menyebarkan nilai-nilai dan ajaran Islam ala Muhammadiyah secara global. Ini adalah bentuk dakwah kultural yang melampaui batas geografis dan bahasa, menegaskan relevansi nilai-nilai yang diajarkan (tauhid, kedisiplinan, percaya diri, akhlak mulia) secara universal.  

IV. Organisasi Otonom Kunci: Komando Kesiapsiagaan Angkatan Muda Muhammadiyah (KOKAM)

A. Latar Belakang Kelahiran di Tengah Gejolak Politik 1965

Komando Kesiapsiagaan Angkatan Muda Muhammadiyah (KOKAM) lahir dari keprihatinan mendalam kader Muhammadiyah pada awal tahun 1965, di tengah upaya penggerogotan ideologi negara Pancasila menjadi konsep Nasakom (Nasional, Agama, dan Komunis). Pada saat itu, Pemuda Muhammadiyah tidak mendapat tempat di Front Nasional karena ditolak menjadi anggota Front Pemuda, yang hanya menerima organisasi yang berafiliasi dengan partai politik. Kondisi ini menciptakan kebutuhan akan kekuatan internal yang terorganisir untuk menjaga nilai-nilai kebangsaan dan keagamaan.  

KOKAM didirikan pada tanggal 1 Oktober 1965, pukul 21.30 WIB, menyusul rapat darurat pimpinan Muhammadiyah di Jakarta. Pembentukan ini merupakan respons langsung terhadap pengumuman "Gerakan 30 September" (G30S) oleh RRI Jakarta yang mengindikasikan perebutan kekuasaan oleh PKI/DN Aidit, serta hilangnya presiden dan beberapa perwira tinggi militer. Pembentukan KOKAM bukan sekadar respons spontan, melainkan reaksi terorganisir dari Muhammadiyah terhadap ancaman ideologis dan kekosongan keamanan yang dirasakan.  

Tokoh kunci pendiri KOKAM adalah Haji Soedarsono Prodjokusumo (HS Prodjokusumo), yang kemudian diangkat sebagai komandan KOKAM. K.H.A. Badawi, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah saat itu, secara aklamasi mengesahkan KOKAM dan memberikan komando pertama yang tegas: "Mensirnakan Gerakan 30 September / PKI adalah ibadah". Dukungan penuh dari pimpinan tertinggi ini menegaskan bahwa KOKAM menjadi simbol perlawanan Muhammadiyah terhadap komunisme dan menunjukkan kesiapsiagaan organisasi dalam menjaga nilai-nilai kebangsaan dan keagamaan di tengah krisis.  

B. Peran dalam Penumpasan G30S/PKI dan Penjagaan Aset Persyarikatan

Setelah komando K.H.A. Badawi, seluruh kekuatan keluarga Muhammadiyah bertransformasi menjadi KOKAM, bangkit menentang G30S/PKI bersama Tentara Nasional Indonesia (TNI). KOKAM membentuk unit-unit di setiap cabang Muhammadiyah, dengan laporan harian ke markas pusat di Jakarta. Di Yogyakarta, KOKAM bahkan dilatih oleh Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) dan menjadi "golden children" Sarwo Edhi, bahkan meminjam senjata seperti granat. KOKAM juga menggalang kerjasama dengan kekuatan anti-PKI lainnya, seperti Banser NU dan Barisan Pengawal Yesus.  

Awalnya, KOKAM dibentuk sebagai kekuatan respons cepat terhadap ancaman G30S/PKI, terlibat dalam operasi lapangan dan dilatih oleh militer. Namun, setelah periode penumpasan, perannya bergeser. Pada fase konsolidasi (1967-1998), KOKAM lebih banyak berperan dalam menjaga aset Muhammadiyah dan kegiatan seremonial. KOKAM memiliki komitmen kuat untuk menjaga aset, kehormatan, dan kedaulatan persyarikatan Muhammadiyah serta Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pergeseran peran ini mencerminkan adaptasi KOKAM terhadap perubahan lanskap politik pasca-1965, bertransformasi dari "milisi" menjadi "penjaga institusional" yang fokus pada stabilitas dan keberlangsungan amal usaha Muhammadiyah.  

C. Evolusi Peran: Dari Antikomunis hingga Kemanusiaan dan Penjaga Bangsa

Memasuki era reformasi (1998-sekarang), KOKAM kembali aktif dalam berbagai isu sosial dan politik, termasuk mengawal proses reformasi dan suksesi kepemimpinan nasional. Kini, KOKAM telah menjelma menjadi kekuatan sipil yang siap sedia hadir di setiap panggilan kemanusiaan dan kebangsaan. Istilah "paramiliter" dalam konteks KOKAM dimaknai sebagai barisan disiplin sipil yang terlatih dan terorganisir, bukan kekuatan represif, melainkan kekuatan resiliensi yang mampu menjadi penyangga krisis sosial.  

KOKAM sangat aktif dalam kegiatan sosial dan kemanusiaan, menjadi garda terdepan dalam penanganan bencana alam, termasuk evakuasi, distribusi bantuan, dan rehabilitasi pascabencana. Mereka juga terlibat dalam urusan kemanusiaan, kebencanaan, dan ekologi, termasuk menjaga perdamaian di tingkat paling bawah dan penyelesaian konflik sosial. Evolusi peran KOKAM dari pasukan antikomunis menjadi kekuatan kemanusiaan dan penjaga bangsa menunjukkan transformasi identitas yang signifikan. Ini adalah redefinisi makna "kesiapsiagaan" dalam konteks modern, di mana KOKAM kini berfokus pada tantangan internal seperti bencana, konflik sosial, dan pembangunan masyarakat.  

Selain itu, KOKAM juga berperan dalam menjaga keutuhan NKRI, nilai-nilai Muhammadiyah, meningkatkan kesiapsiagaan, dan memberikan pendidikan politik kepada kader. Mereka menjadi kekuatan penyeimbang dalam dinamika politik nasional. Transformasi ini menjaga relevansi KOKAM di era kontemporer, menunjukkan bahwa organisasi keagamaan dapat beradaptasi dengan kebutuhan zaman dan tetap berkontribusi secara positif tanpa harus terlibat dalam kekerasan atau politik praktis.  

D. Struktur Organisasi dan Kontribusi Sosial-Kemanusiaan

KOKAM memiliki struktur organisasi yang tersusun secara hierarkis dari tingkat pusat (nasional) hingga ranting (desa/kelurahan), mencakup tingkat wilayah (provinsi), daerah (kabupaten/kota), dan cabang (kecamatan). Persyaratan keanggotaan KOKAM meliputi menjadi anggota Pemuda Muhammadiyah, laki-laki berusia minimal 17 tahun dan maksimal 40 tahun, beragama Islam, mematuhi AD/ART Pemuda Muhammadiyah, dan bersedia mengikuti Pendidikan dan Latihan (Diklat) KOKAM. Struktur hierarkis dan persyaratan keanggotaan yang jelas ini menunjukkan bahwa KOKAM adalah organisasi yang terstruktur dengan baik, bukan sekadar kelompok relawan ad-hoc.  

KOKAM memiliki berbagai kegiatan rutin, seperti Pendidikan dan Latihan Dasar (Diklatsar), latihan baris-berbaris dan kedisiplinan, pelatihan tanggap bencana, bakti sosial dan kegiatan kemanusiaan, pengamanan aset Muhammadiyah, serta pawai. Dalam struktur Pemuda Muhammadiyah, KOKAM dipimpin oleh Ketua KOKAM dan SAR. KOKAM menjunjung tinggi prinsip kemanusiaan universal, seperti kerjasama kemanusiaan (taa'awun insani), kehormatan manusia (karramah insaniyah), toleransi (tasammuh), keadilan ('adalah), dan pencegahan kerusakan. Mereka mengambil semangat Q.S. Al-Ma'un dalam mengurusi masalah kemanusiaan, seperti menyantuni fakir miskin, mengurusi anak yatim, dan pelayanan ambulans. Mekanisme internal ini memungkinkan KOKAM untuk mengkoordinasikan kegiatan berskala besar, seperti penanganan bencana di berbagai wilayah. Struktur yang solid ini adalah prasyarat bagi efektivitas KOKAM dalam menjalankan fungsi sosial-kemanusiaannya, memperkuat citra Muhammadiyah sebagai organisasi yang "sedikit bicara banyak bekerja".  

Tabel 1: Linimasa Penting Organisasi Muhammadiyah dan Ortom Kunci

Organisasi/Peristiwa

Tanggal/Tahun

Lokasi

Tokoh Kunci

Status Ortom (jika berlaku)

Pendirian Muhammadiyah

18 Nov 1912 M / 8 Dzulhijjah 1330 H

Yogyakarta

K.H. Ahmad Dahlan

-

Pendirian Paguron Kauman (Cikauman)

1925

Kauman, Yogyakarta

A. Dimyati, M. Wahib (murid KH. Busyro Syuhada)

-

Izin Cabang Muhammadiyah dari Belanda

2 Sep 1921

Hindia Belanda

K.H. Ahmad Dahlan

-

Pendirian Perguruan KASEGU

1958

Kauman, Yogyakarta

Pemuda Muhammadiyah Kauman Selatan

Embrio Tapak Suci

Deklarasi PERSATUAN PENCAK SILAT TAPAK SUCI

31 Juli 1963 M / 10 Rabiul Awwal 1383 H

Pesantren Aisyiah Kauman, DIY

M. Barie Irsjad, 6 murid KASEGU

-

Tapak Suci Diterima Ortom Muhammadiyah

1964

-

K.H. Ahmad Badawi (Ketua PP Muhammadiyah)

Resmi

Penetapan Tapak Suci sebagai Ortom Muhammadiyah

1967 (Sidang Tanwir)

-

K.H. Djarnawi Hadikusumo (Ketua Umum pertama)

Resmi

Pendirian KOKAM

1 Okt 1965

Universitas Muhammadiyah Jakarta

H.S. Prodjokusumo, K.H.A. Badawi

Ortom Pemuda Muhammadiyah

Ekspor ke Spreadsheet

Tabel 2: Perbandingan Prinsip Dasar Tapak Suci dan KOKAM

Organisasi

Prinsip Utama

Fokus Kontribusi

Tapak Suci Putera Muhammadiyah

- Berasas Islam, bersumber Al-Qur'an & As-Sunnah, berjiwa persaudaraan. <br> - Motto: "Dengan Iman dan Akhlak saya menjadi kuat, tanpa Iman dan Akhlak saya menjadi lemah". <br> - Pencak silat murni tradisional keolahragaan, bersih dari syirik dan menyesatkan.

- Pengkaderan Muhammadiyah: Mendidik anggota menjadi kader beriman, berakhlak mulia, disiplin. <br> - Pengembangan Pencak Silat Nasional: Melestarikan, mengembangkan identitas, wahana pendidikan karakter. <br> - Dakwah bil hal: Menjadi uswah hasanah di masyarakat. <br> - Kontribusi Internasional: Berperan dalam penetapan Pencak Silat sebagai Warisan Budaya UNESCO.

Komando Kesiapsiagaan Angkatan Muda Muhammadiyah (KOKAM)

- Semangat Bela Negara dan bela Persyarikatan. <br> - Sifat altruisme, kerelaan (Ruhul Ikhlas) mengabdi pada agama dan kemanusiaan. <br> - Mengambil semangat Q.S. Al-Ma'un: mengurusi masalah kemanusiaan. <br> - Menjunjung tinggi prinsip kemanusiaan universal.

- Penjaga Keamanan dan Ideologi: Menjaga keutuhan NKRI, nilai-nilai Muhammadiyah, dan aset persyarikatan. <br> - Penanganan Bencana dan Kemanusiaan: Garda terdepan dalam bantuan bencana, menyantuni fakir miskin, mengurusi anak yatim, pelayanan ambulans. <br> - Penyelesaian Konflik Sosial: Proaktif dalam mediasi dan penanganan konflik. <br> - Pendidikan dan Pengembangan Kader: Meningkatkan kapasitas dan keterampilan anggota.

 

V. Kesimpulan: Muhammadiyah sebagai Kekuatan Berkemajuan dan Berkemaslahatan

Muhammadiyah, sejak didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan pada tahun 1912, telah membuktikan dirinya sebagai gerakan Islam modernis yang konsisten dalam misi tajdid (pembaruan) dan amar ma'ruf nahi munkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran). Organisasi ini tidak hanya berfokus pada pemurnian akidah dan ibadah, tetapi juga secara aktif berkontribusi pada pembangunan bangsa melalui amal usaha yang luas di bidang pendidikan, kesehatan, dan sosial.

Peran organisasi otonom kunci seperti Tapak Suci Putera Muhammadiyah dan Komando Kesiapsiagaan Angkatan Muda Muhammadiyah (KOKAM) menunjukkan fleksibilitas dan adaptasi Muhammadiyah dalam menghadapi berbagai tantangan zaman. Tapak Suci telah menjadi wadah pengkaderan yang memadukan nilai keislaman dengan seni bela diri, sekaligus berkontribusi pada pelestarian budaya dan pengakuan pencak silat di tingkat internasional. Sementara itu, KOKAM bertransformasi dari kekuatan paramiliter yang berperan dalam gejolak politik 1965 menjadi garda terdepan dalam aksi kemanusiaan, penanganan bencana, dan penjaga keutuhan bangsa.

Keberadaan Muhammadiyah, dengan jaringan amal usaha yang luas dan organisasi otonom yang dinamis, menegaskan posisinya sebagai pilar penting dalam mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya dan memberikan kemaslahatan bagi seluruh umat manusia. Strategi "jarak kritis" Muhammadiyah dalam berpolitik memungkinkannya untuk mempertahankan integritas dan kepercayaan masyarakat, serta fokus pada tujuan utamanya sebagai gerakan pembaharuan Islam yang relevan di setiap zaman.

VI. Sumber Bahan Artikel

 


Posting Komentar